Mitos menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat hampir di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, mitos menjadi kepercayaan turun temurun yang memiliki makna beragam. Misalnya saja di Jawa, ada banyak sekali mitos yang berkembang.
Banyak mitos yang mengandung pesan-pesan tentang bagaimana bersikap baik, hormat, dan patuh kepada orang tua, sesama, dan Tuhan. Misalnya, mitos anak gadis duduk di depan pintu akan sulit jodoh, mitos pamali mengambil makan sebelum orang tua, dan mitos bersiul di malam hari dapat memanggil setan, dan masih banyak lagi.
Di Jawa, banyak mitos yang menggambarkan nilai-nilai, adat-istiadat, dan kepercayaan yang ada di masyarakatnya. Misalnya, mitos weton jodoh, mitos ngalor ngulon, dan mitos lusan atau jilu.
Pernahkah kamu mendengar mengenai mitos anak terakhir menikah dengan anak terakhir menurut adat Jawa? Ya, di Jawa dipercaya, anak terakhir menikah dengan anak terakhir menjadikan rumah tangga tidak harmonis. Apakah itu benar? Berikut penjelasan lengkapnya yang dilansir Keeping Times dari berbagai sumber, Jumat (16/2).
foto: stock.adobe.com
Mitos anak terakhir menikah dengan anak terakhir menurut adat Jawa adalah sebuah kepercayaan yang mengatakan bahwa pasangan yang sama-sama bungsu tidak akan bisa hidup mandiri dan harmonis dalam pernikahan.
Mitos ini didasarkan pada anggapan bahwa anak terakhir memiliki sifat manja, tidak sabar, tidak mau mengalah, dan tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Oleh karena itu, mereka membutuhkan pasangan yang lebih dewasa dan kuat untuk membimbing mereka.
Mitos ini juga berkaitan dengan tradisi Jawa yang mengharapkan anak terakhir untuk tinggal bersama orang tua dan membantu mereka di hari tua. Mitos ini telah turun temurun dan masih dipercayai oleh sebagian masyarakat Jawa hingga saat ini.
Namun, mitos ini tidak berlaku untuk semua anak terakhir. Ada beberapa faktor lain yang memengaruhi keberhasilan pernikahan, seperti weton, posisi rumah, dan urutan kelahiran lainnya.
Misalnya, menurut primbon Jawa, anak terakhir menikah dengan anak pertama adalah pasangan yang ideal dan langgeng, karena sifat manja dari anak terakhir akan merasa lebih nyaman dengan anak pertama yang lebih bertanggung jawab. Selain itu, anak ketiga menikah dengan anak ketiga juga tidak dilarang oleh adat Jawa, karena tidak termasuk dalam mitos lusan atau jilu yang mengatakan bahwa anak pertama menikah dengan anak ketiga atau sebaliknya akan membawa kesialan.
Jadi, mitos anak terakhir menikah dengan anak terakhir menurut adat Jawa bukanlah sebuah aturan yang mutlak, melainkan sebuah panduan yang dapat dijadikan pertimbangan. Yang terpenting adalah bagaimana pasangan tersebut saling menghormati, mengerti, dan mencintai satu sama lain.
Berikut adalah beberapa mitos pernikahan yang terkenal di Jawa, berdasarkan hasil pencarian Keeping Times dari berbagai sumber.
foto: stock.adobe.com
- Mitos lusan atau jilu: Mitos ini mengatakan bahwa pernikahan antara anak pertama dan anak ketiga, atau sebaliknya, akan membawa kesialan bagi pasangan dan keluarga mereka. Mitos ini didasarkan pada anggapan bahwa anak pertama dan ketiga memiliki watak yang berbeda dan sulit disatukan.
- Mitos ngalor ngulon: Mitos ini mengatakan bahwa pernikahan antara pasangan yang rumahnya berada di arah utara dan barat, atau sebaliknya, akan mendapat malapetaka. Mitos ini didasarkan pada kepercayaan bahwa arah utara dan barat adalah arah yang tidak baik dalam tradisi Jawa.
- Mitos weton jodoh: Mitos ini mengatakan bahwa pernikahan antara pasangan yang wetonnya tidak cocok akan mengalami masalah dalam rumah tangga. Mitos ini didasarkan pada perhitungan weton yang mengacu pada hari dan pasaran kelahiran seseorang, yang diyakini menentukan sifat dan nasibnya.
- Mitos cincin tunangan: Mitos ini mengatakan bahwa pernikahan antara pasangan yang memindahkan cincin tunangan sebelum hari H akan mendapat hal buruk. Mitos ini didasarkan pada anggapan bahwa cincin tunangan adalah simbol kesetiaan dan komitmen yang tidak boleh diganggu gugat.
Adat pernikahan di Jawa adalah salah satu tradisi budaya yang kaya akan makna dan simbol. Adat pernikahan di Jawa memiliki beberapa prosesi dan ritual yang dilakukan sebelum, saat, dan sesudah pernikahan. Beberapa prosesi dan ritual tersebut antara lain adalah:
- Serahan: Prosesi ini dilakukan untuk menyerahkan seserahan atau barang-barang yang dibawa oleh calon mempelai pria dan keluarganya sebagai hadiah untuk calon mempelai wanita. Seserahan biasanya berupa perlengkapan wanita, makanan tradisional, dan buah-buahan.
- Siraman: Prosesi ini dilakukan sehari sebelum pernikahan, di mana calon mempelai akan disiram dengan air bunga oleh sesepuh atau orang tua mereka. Tujuan dari prosesi ini adalah untuk membersihkan jiwa dan badan calon mempelai sebelum memasuki kehidupan baru.
- Paes: Prosesi ini dilakukan beberapa jam sebelum pernikahan, di mana calon mempelai wanita akan dibersihkan rambut halus di wajahnya oleh penata rias. Tujuan dari prosesi ini adalah untuk membuat wajah calon mempelai wanita terlihat lebih bersinar dan cantik.
- Dodol Dawet: Prosesi ini dilakukan sesaat sebelum pernikahan, di mana orang tua calon mempelai wanita akan berpura-pura menjual minuman dawet kepada tamu yang datang. Tujuan dari prosesi ini adalah untuk melayani tamu dengan baik dan mengharapkan berkah dari Tuhan.
- Midodareni: Prosesi ini dilakukan malam sebelum pernikahan, di mana calon mempelai wanita akan berdoa dan beristirahat di dalam kamar yang sudah dihias dengan kembang mayang. Tujuan dari prosesi ini adalah untuk memohon perlindungan dan keselamatan dari Tuhan.
- Akad Nikah: Prosesi ini dilakukan pada hari pernikahan, di mana calon mempelai pria akan datang ke rumah calon mempelai wanita untuk melangsungkan ijab kabul atau janji pernikahan di depan saksi dan penghulu. Tujuan dari prosesi ini adalah untuk mengikat kedua calon mempelai dalam ikatan suci pernikahan.
- Panggih: Prosesi ini dilakukan setelah akad nikah, di mana calon mempelai pria dan wanita akan bertemu dan saling menyapa di depan pintu rumah. Tujuan dari prosesi ini adalah untuk menyatukan kedua calon mempelai sebagai suami istri.
- Resepsi: Prosesi ini dilakukan setelah panggih, di mana calon mempelai pria dan wanita akan bersanding di pelaminan dan menerima ucapan selamat dan doa dari tamu undangan. Tujuan dari prosesi ini adalah untuk memperkenalkan kedua mempelai sebagai pasangan baru kepada masyarakat.
Penulis: Nera